Tuesday 10 February 2015

Israel Ubah Sejumlah Landmark Islam di Masjid Al-Aqsha Jadi Toilet Umum

aqsa

TINDAKAN keji dilakukan oleh Israel dengan merubah sejumlah landmark dan sejarah Islam di dekat Masjid Al-Aqsha di Yerusalem Timur menjadi toilet umum, sebuah LSM Palestina mengatakan dan dilaporkan Worldbulletin.
“Pasukan pendudukan Israel telah mengubah beberapa landmark dan sejarah Islam di tenggara Yerusalem Mughrabi Quarter, hanya 50 meter sebelah barat dari Al-Aqsha, menjadi toilet umum bagi orang Yahudi dan turis asing yang mengunjungi wilayah Hait al-Buraq,” Yayasan Al-Aqsha untuk Wakaf dan Warisan menegaskan dalam sebuah laporan yang dirilis Senin kemarin (9/2/2015).
Palestina menganggap daerah Hait al-Buraq sebagai bagian dari landmark Islam. Sedangkan Yahudimenyebutnya “wilayah Barat” atau “Tembok Ratapan” dan melakukan ibadah di dekat situ.
Dalam laporannya, yayasan Al-Aqsha mengatakan bahwa toilet adalah bagian dari sinagoga utama Yahudi yang sedang dibangun di daerah itu.
Laporan ini melanjutkan bahwa daerah tersebut berisi puluhan bangunan bersejarah dan landmark Islam, termasuk beberapa yang berasal dari era kekhalifahan Utsmaniyah.
Yayasan Al-Aqsha mengatakan Israel telah melakukan kejahatan terhadap peradaban dan sejarah dengan mengubah bangunan bersejarah menjadi toilet umum.[fq/islampos]

500 Rabbi Desak Netanyahu Hentikan Penghancuran Rumah Palestina

gaza-jews

RATUSAN rabbi Yahudi dari Israel, Inggris dan di seluruh dunia mendesak Perdana Menteri Benjamin Netanyahu untuk menghentikan pembongkaran rumah warga Palestina, lapor Worldbulletin.
Rabbi untuk Hak Asasi Manusia (RHR) telah mengajukan surat terbuka kepada Perdana Menteri Israel yang menyatakan bahwa sikap Netanyahu tidak sejalan dengan hukum internasional dan tradisi Yahudi.
Menurut para rabbi, tidak ada yang bisa mewakili atau menentukan bagaimana merencanakan komunitas mereka sejak komite perencanaan lokal dan distrik dihapuskan pada tahun 1971.
Pada akhir Januari lalu, PBB menuduh Israel secara ilegal menghancurkan rumah 77 warga Palestina, membuat banyak anak-anak, di Yerusalem Timur serta distrik Ramallah, Yerikho dan Hebron kehilangan tempat tinggal.
“Dalam tiga hari terakhir, 77 warga Palestina, lebih dari setengah dari mereka anak-anak, telah kehilangan tempat tinggal,” kata James Rawley, koordinator Kemanusiaan PBB. “Beberapa struktur yang disediakan oleh masyarakat internasional untuk mendukung keluarga yang rentan justru dibongkar oleh Israel.
“Penghancuran yang mengakibatkan pengusiran paksa dan pemindahan ga warbertentangan dengan kewajiban Israel berdasarkan hukum internasional dan hanya menciptakan penderitaan yang tidak perlu serta ketegangan. Dan Israel harus segera dihentikan.”[fq/islampos]

Pemukim Yahudi Sabotase Lahan Zaitun Warga Palestina

ladang gandum, kebun,

PEMUKIM Yahudi dikabarkan menyabotase lahan Zaitun milik warga Palestina. Mereka menebang lebih dari 70 pohon zaitun di lahan di distrik Hebron pada hari Senin (9/2/2015).
Sementara itu saksi mengatakan kepada Ma’an bahwa pemukim juga menghancurkan lebih dari 70 bibit pohon di dekat kota Sair.
Pohon-pohon itu telah ditanam seminggu yang lalu di daerah yang terancam aneksasi dekat pemukiman ilegal Metzad, yang terletak di blok Gush Etzion barat dari Bethlehem.
Sebelumnya, warga telah mengadakan kampanye untuk menanam pohon.
Serangan terhadap pohon-pohon zaitun ini diduga merupakan cara utama untuk memaksa warga Palestina keluar dari rumah dan tanah mereka. Hal ini diduga terkait dengan isue penyitaan tanah untuk pembangunan pemukiman Yahudi.
Industri zaitun mendukung mata pencaharian sekitar 80 ribu keluarga di Tepi Barat yang diduduki. Sejak tahun 1967, sekitar 800 ribu pohon zaitun telah tumbang di Tepi Barat yang diduduki, menurut laporan bersama oleh Otoritas Palestina dan Riset Terapan Institut Yerusalem. Hilangnya ini telah menjadi penyebab kemiskinan bagi banyak orang Palestina. [ds/islampos]

Menelisik Hubungan Saudi-Israel di Bawah Kendali Raja Salman

Members of the Saudi security forces take part in a military parade in Mecca

ANDA boleh saja tidak suka mendengar kabar ini, namun faktanya, hubungan antara Arab Saudi dan Israel sudah bertahun-tahun lamanya mengkristal dengan tanpa banyak pemberitaan berarti. Di era pemerintahan Raja Salman sekarang—setelah mangkatnya Raja Abdullah—hubungan itu tampaknya tidak mengalami perubahan berarti.
“Perubahan Timur Tengah dalam beberapa tahun terakhir telah menciptakan satu kepentingan bersama antara kedua negara ini—Saudi dan Israel,” demikian diungkapkan oleh Dr Michal Yaari, seorang ahli kebijakan luar negeri Saudi dan dosen di Universitas Terbuka, seperti dilansir olehJerusalem Post.
Seperti Israel, Saudi sangat benci menerima angin perubahan radikal yang telah melanda wilayah tersebut, terutama kekacauan yang telah didorong oleh gerakan Syiah Iran.
Menurut Yaari, salah satu musuh terbesar bagi kedua negara tersebut saat ini adalah ISIS [Negara Islam] yang mengancam tatanan regional di Timur Tengah. “ISIS menjadi kerangka kerjasama antara Yerusalem dan Riyadh.”
Dan meskipun kepentingan ini hanya berjalan sesaat saat ini, kerjasama Israel-Saudi kemungkinan akan tetap diam-diam berjalan selama konflik Zionis-Arab belum terpecahkan, kata Yaari.
“Kita perlu ingat bahwa bahkan jika ada hubungan antara Israel dan Arab Saudi, itu hanya di belakang layar, di balik pintu tertutup, karena Saudi tidak pernah dapat memulai proses perdamaian bilateral dengan Israel,” katanya.
“Kedua negara memiliki kepentingan untuk menjaga hubungan yang sangat jauh dari mata publik,” kata Yaari. “Sebuah skenario dimana Israel dan Saudi berurusan dengan satu sama lain di tempat terbuka akan mungkin dilakukan hanya jika Israel menandatangani perjanjian damai yang komprehensif dengan seluruh dunia Arab.”
Sebenarnya pada tahun 1967, Raja Abdullah—ketika itu baru saja diangkat jadi pemimpin Saudi menggantikan Raja Fahd—sudah menawarkan solusi damai kepada Israel dengan cara Israel menarik penuh dari wilayah Palestina yang sudah dikuasai sejak tahun 1967. Lantas, setelah kepergiaan Raja Abdullah, seperti apa hubungan Israel-Saudi?
“Kematian Abdullah tidak akan memengaruhi kebijakan luar negeri Riyadh,” kata Yaari lagi. “Satu-satunya perubahan adalah adanya raja baru—Salman, dan ini tidak mendasar.”
Lantas, apakah Saudi pernah meresmikan hubungan dengan Israel—berdasarkan antagonisme kedua pemerintah terhadap solusi tanpa masalah untuk Palestina? Yaari mengatakan bahwa itu tidak akan terjadi.
“Riyadh tidak akan pernah menandatangani perjanjian damai dengan Israel selama konflik Israel-Arab tetap belum terpecahkan dan selama Israel berpegang pada wilayah-wilayah pendudukan dan Kuil Suci,” katanya.
Yaari mengatakan bahwa ekspresi belasungkawa diungkapkan oleh Presiden Reuven Rivlin dan pendahulunya, Shimon Peres, adalah indikasi dari “pemahaman Israel lebih mementingkan Arab Saudi untuk menjaga stabilitas Timur Tengah.”
Bagaimana dengan Israel sendiri? Tampaknya, Israel masih akan tetap bermain peran menunggu bola. “Hubungan kedua negara harus tetap jauh dari mata publik, dan bahkan jika ada kontak, tidak boleh dipublikasikan di Israel atau Arab Saudi.”
“Israel juga perlu menyadari pentingnya Arab Saudi sebagai pemimpin dunia Arab-Muslim yang luar biasa, sebuah jembatan yang menghubungkan dunia Arab ke Barat, dan faktor yang sangat penting dalam menstabilkan wilayah tersebut dan mempertahankan ketenangan.” []

Pelajar protes pengepungan Gaza


10 Februari 2015


GENTING GAZA - PALESTIN. Puluhan pelajar universiti di Genting Gaza bertindak melemparkan diploma mereka ke dalam Laut Mediterranean sebagai membantah pengepungan berterusan Israel ke atas wilayah Palestin.

Pengepungan itu sekali gus menghancurkan harapan pelajar yang ingin melanjutkan pengajian ke luar negara selepas mereka tidak dapat ke luar disebabkan penutupan sempadan Rafah dengan Mesir.

Menurut Press TV, salah seorang pelajar memberitahu, keyakinannya terhadap manusia dan majlis hak asasi telah hilang memandangkan masalah itu sehingga kini gagal diselesaikan.

Difahamkan, pelajar turut menggesa masyarakat antarabangsa terutama Liga Arab dan Pertubuhan Kerjasama Islam untuk memenuhi tanggungjawab mereka dalam menangani masalah itu.

Lebih 25,000 pesakit dan pelajar kini berada dalam senarai menunggu untuk menggunakan sempadan Rafah bagi mendapatkan rawatan perubatan serta melanjutkan pelajaran.