Tuesday, 10 February 2015

Menelisik Hubungan Saudi-Israel di Bawah Kendali Raja Salman

Members of the Saudi security forces take part in a military parade in Mecca

ANDA boleh saja tidak suka mendengar kabar ini, namun faktanya, hubungan antara Arab Saudi dan Israel sudah bertahun-tahun lamanya mengkristal dengan tanpa banyak pemberitaan berarti. Di era pemerintahan Raja Salman sekarang—setelah mangkatnya Raja Abdullah—hubungan itu tampaknya tidak mengalami perubahan berarti.
“Perubahan Timur Tengah dalam beberapa tahun terakhir telah menciptakan satu kepentingan bersama antara kedua negara ini—Saudi dan Israel,” demikian diungkapkan oleh Dr Michal Yaari, seorang ahli kebijakan luar negeri Saudi dan dosen di Universitas Terbuka, seperti dilansir olehJerusalem Post.
Seperti Israel, Saudi sangat benci menerima angin perubahan radikal yang telah melanda wilayah tersebut, terutama kekacauan yang telah didorong oleh gerakan Syiah Iran.
Menurut Yaari, salah satu musuh terbesar bagi kedua negara tersebut saat ini adalah ISIS [Negara Islam] yang mengancam tatanan regional di Timur Tengah. “ISIS menjadi kerangka kerjasama antara Yerusalem dan Riyadh.”
Dan meskipun kepentingan ini hanya berjalan sesaat saat ini, kerjasama Israel-Saudi kemungkinan akan tetap diam-diam berjalan selama konflik Zionis-Arab belum terpecahkan, kata Yaari.
“Kita perlu ingat bahwa bahkan jika ada hubungan antara Israel dan Arab Saudi, itu hanya di belakang layar, di balik pintu tertutup, karena Saudi tidak pernah dapat memulai proses perdamaian bilateral dengan Israel,” katanya.
“Kedua negara memiliki kepentingan untuk menjaga hubungan yang sangat jauh dari mata publik,” kata Yaari. “Sebuah skenario dimana Israel dan Saudi berurusan dengan satu sama lain di tempat terbuka akan mungkin dilakukan hanya jika Israel menandatangani perjanjian damai yang komprehensif dengan seluruh dunia Arab.”
Sebenarnya pada tahun 1967, Raja Abdullah—ketika itu baru saja diangkat jadi pemimpin Saudi menggantikan Raja Fahd—sudah menawarkan solusi damai kepada Israel dengan cara Israel menarik penuh dari wilayah Palestina yang sudah dikuasai sejak tahun 1967. Lantas, setelah kepergiaan Raja Abdullah, seperti apa hubungan Israel-Saudi?
“Kematian Abdullah tidak akan memengaruhi kebijakan luar negeri Riyadh,” kata Yaari lagi. “Satu-satunya perubahan adalah adanya raja baru—Salman, dan ini tidak mendasar.”
Lantas, apakah Saudi pernah meresmikan hubungan dengan Israel—berdasarkan antagonisme kedua pemerintah terhadap solusi tanpa masalah untuk Palestina? Yaari mengatakan bahwa itu tidak akan terjadi.
“Riyadh tidak akan pernah menandatangani perjanjian damai dengan Israel selama konflik Israel-Arab tetap belum terpecahkan dan selama Israel berpegang pada wilayah-wilayah pendudukan dan Kuil Suci,” katanya.
Yaari mengatakan bahwa ekspresi belasungkawa diungkapkan oleh Presiden Reuven Rivlin dan pendahulunya, Shimon Peres, adalah indikasi dari “pemahaman Israel lebih mementingkan Arab Saudi untuk menjaga stabilitas Timur Tengah.”
Bagaimana dengan Israel sendiri? Tampaknya, Israel masih akan tetap bermain peran menunggu bola. “Hubungan kedua negara harus tetap jauh dari mata publik, dan bahkan jika ada kontak, tidak boleh dipublikasikan di Israel atau Arab Saudi.”
“Israel juga perlu menyadari pentingnya Arab Saudi sebagai pemimpin dunia Arab-Muslim yang luar biasa, sebuah jembatan yang menghubungkan dunia Arab ke Barat, dan faktor yang sangat penting dalam menstabilkan wilayah tersebut dan mempertahankan ketenangan.” []

No comments:

Post a Comment